peran Wali Songo dalam Penyebaran Islma di Tanah Jawa/Nusantar
1.1 LATAR BELAKANG
Seperti yang kita ketahui, pulau Jawa ini terkenal dengan adanya para
Wali-Ullah yang lebih terkenal dengan sebitan Wali Songo.
Mereka diberi julukan tersebut karena mereka dianggap sebagai penyiar-penyiar
terpenting agama Islam, mereka dengan giat sekali menyebarkan dan mengajarkan
pokok-pokok agama Islam. Kebanyakan para penduduk menganggap mereka adalah
orang yang dekat dengan Allah yang mempunyai ilmu ghaib, mempunyai kekuatan
batin yang berlebih serta mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Oleh karena itu
ajaran yang mereka bawa lebih di hubungkan kepada masalah Tasawuf, dari pada
masalah fiqh ataupun qallam. (Soekmono, R. -.51-52)
Ke sembilan orang tersebut mendapat julukan Sunan di setiap awal
namanya. Adapun nama ke sembilan wali tersebut adalah Sunan Gresik; Sunan
Ampel; Sunan Bonang; Sunan Giri; Sunan Derajat; Sunan Kalijaga; Sunan Kudus
Sunan Muria; Sunan Gunung Jati.
Menurut cerita kesembilan wali tersebut sering berjumpa untuk mengadakan rapat
untuk merundingkan berbagai hal yang bertalian dengan tugas dan usaha mereka dalam
menyebarkan agama Islam. Namun sejarah mengenai mereka masih diliputi oleh
kegelapan karena bahan-bahan yang mendukung keberadaan mereka kurang
didapatkan. (Soekmono, R. -.51-52)
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
yang dimaksud dengan “Wali” dan “Sunan”?
2.
Bagaimana
sosok Sunan Gresik serta para wali lainnya?
3.
Metode
apa saja yang digunakan Wali songo dalam berda’wah?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Tujuan
utama dari penulisan makalah ini adalah untuk menganalisis risalah dakwah
walisongo mulai dari titik awal penyebaran hingga perkembangannya dalam proses
Islamisasi di tanah Jawa dan sekitarnya. Tujuan khususnya yaitu
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia II (SNI II).
1.4 METODE
PENULISAN
Metode
yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah analisis deskriptif serta
interpretasi melalui beberapa buku sumber referensi sejarah. Pada
beberapa bagian terdapat kutipan berupa buku dan jurnal online yang merupakan
sumber referensi sejarah, dan sebagian merupakan hasil dari interpretasi dan
diskusi kelompok kami.
BAB II
PENGERTIAN
A. PENGERTIAN
WALI
Perkataan wali berasal dari bahasa
Arab. Jamaknya Auliya’ yang berarti orang-orang yang tercinta, para penolong,
para pembantu dan juga berarti para pemimpin.(Nur Amin Fattah. 1997. 19)
1.
Pengertian
wali menurut Al-Qur’an (Q.S. 10 Yunus : 62-63-64)
“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan
(dalam kehidupan) di akhirat.”
Jadi yang dimaksud waliyullah (wali Allah) dalam ayat
tersebut di atas adalah orang-orang yang selalu bertaqwa kepada Allah dan
mereka tidak mempunyai rasa takut dan bersusah hati. (Nur Amin Fattah. 1997. 19)
2.
Pengertian
wali menurut hadist nabi.
“Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW berkata, Allah
SWT berfirman : Barang siapa memusuhi waliku, maka Aku umumkan perang kepadanya
dengan Ku atau sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya dan selalulah hambaku
mendekatkan dirinya kepadaKU dengan mengerjakan amalan-amalan sunahnya sehingga
Aku mencintainya Maka apabila Aku telah mencintainya Akulah yang akan menjadi
pendengarnya yang dengan itu ia mendengar dan penglihatannya yang dengan itu ia
melihat dan tangannya yang dengan itu ia memukul dan kakinya yang dengan itu ia
berjalan” (H. Bukhari)
Pengertian wali menurut hadist tersebut ialah orang
yang selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan apa saja yang
diwajibkan kepadanya dan juga selalu melakukan amalan yang sunnah. Dan juga
berarti wali adalah orang yang dikasihi oleh Allah (kekasih Allah). (Nur Amin Fattah. 1997. 19-20)
B. PENGERTIAN
SUNAN
Para mubaligh Islam pertama-tama menyiarkan dan
menyebarkan agama Islam di nusa Jawa yang terkenal dengan sebutan “Wali Songo”
itu juga mendapat sebutan atau panggilan “Sunan” di awal namanya. Bahkan sampai
sekarang ini, orang lebih terbiasa mengucapkan Sunan dari pada kata wali.
Umpanya : Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dll. (Nur Amin Fattah. 1997. 25)
Ada juga yang berpendapat bahwa kata sunan itu berasal
dari bahasa Tionghoa “Hokkian-suhunan”, yang berarti pujangga yang disebabkan
karena ilmunya. (Nur Amin Fattah. 1997.
25)
Sementara beberapa ahli berpendapat kata sunan itu
berasal dari kata sesuhunan artinya orang yang diminta, dan ada juga yang berpendapat
bahwa kata sunan itu bersal dari bahasa Arab “Sunanun” artinya beberapa sunnah,
yang maksudnya orang yang suka mengerjakan perbuatan-perbuatan sunnah. (Nur Amin Fattah. 1997. 25)
Jadi kata sunan itu adalah suatu nama atau gelar yang
diberikan oleh orang lain ketika para wali itu masih hidup, bukan setelah mati.
Sebab para wali itu disuhun atau diminta sesorang bukan hanya keramatnya saja
setelah ia meninggal dunia justru malah lebih banyak diminta petunjuknya
sewaktu mereka masih hidup, karena mereka itu adalah seorang da’i, yang
mengajak manusia ke jalan yang benar. (Nur
Amin Fattah. 1997. 26)
Konon yang pertama-tama memberi gelar sunan kepada
para wali songo itu adalah Raden Patah raja Demak yang pertama Sedangkan ketika
Raden Patah memerintah kerajaan Demak Bintoro, para wali itu kebanyakan masih
hidup, bahkan yang menobatkan raden Patah jadi Raja di Bintoro Demak adalah
para wali itu sendiri. Adi seolah-olah ada hubungan timbale balik dalam hal
memberikan penghormatan. (Nur Amin
Fattah. 1997. 25)
Sehingga perlu kita ingat bahwa sesungguhnya gelar
Sunan itu adalah bukan suatu gelar jabatan, sebagaimana sultan atau raja dan
ratu, namun itu merupakan gelar penghormatan. (Nur Amin Fattah. 1997. 25)
BAB
III
WALI SONGO
WALI SONGO
Para mubalig Islam yang pertama-tama memimpin
penyiaran dan penyebaran agama Islam di pulau Jawa pada zaman dahulu dikenal
dengan sebutan “WALI SONGO” atau wali Sembilan. (Nur Amin Fattah. 1997. 27)
Menurut sumber-sumber sejarah agama Islam masuk ke
pulau Jawa adalah sekitar abad ke 11 (sebelas) Masehi, sumber ini berasal dari
data sejarah dengan diketemukannaya sebuah batu nisan makam seorang wanita
muslim yang bernama Fatimah binti Maimun di desa Leran dekat Gresik Jawa Timur,
yang wafat pada tanggal 7 Rajab 475 H yang dalam tarih masehi bertepatan dengan
2 Desember 1082 M. (Nur Amin Fattah.
1997. 27)
Dengan adanya data ini tidaklah bisa dipungkiri bahwa
sebelum tahun wafat dari Fatimah binti Maimun itu agama Islam sudah masuk di
pulau Jawa, namun dari bukti tersebut dapat suatu kesimpulan bahwa agama Islam
masuk tidak identik dengan perkembangan agama Islam, sebab masuknya agama Islam
ke pulau Jawa jelas ditandai oleh masuknya orang-orang Islam(pedagang Islam) di
tanah Jawa. Mengapa demikian ? karena sudah menjadi cirri khusus dari setiap
pedagang Islam dahulu, di mana mereka masuk si suatu daerah di situlah mereka
berdakwah atau menda’wahkan agamanya paling tidak di daerah itu sendiri ada
orang Islam yang tinggal walaupun hanya tinggal smentara. Sedangkan Islam
berkembang di mana agam Islam mulai dipeluk oleh penduduk setempat dan mulai
sengan penyiaran yang terang-terangan serta penyusunan kekuatan. Denagn
demikian Islam sudah mulai berkembang di pulau Jawa adalah sejak para wali
songo merintis jalan da’wahnya yaitu pada sekitar abad ke-14 Masehi, yang
dimulai sejak kedatangan seorang Syekh dari negeri Arab berkelana di pulau Jawa
guna da’wah keliling yaitu Maulana Malik Ibrahim, yang akhirnya beliau tinggal
menetap di Gresik sampai akhir hayatnya, beliau wafat pada tahun 882 H yang
bertepatan dengan tahun 1419 Masehi. Beliaulah yang dikenal dengan wali tertua
dari wali songo yang mempelopori penyiaran Islam di pulau Jawa yang pertama
kali. (Nur Amin Fattah. 1997. 27)
A. NAMA-NAMA
WALI SONGO
1.
MAULANA
MALIK IBRAHIM (SUNAN GRESIK)
Beliau juga dikenal dengan sebutan Magrhibi atau Syekh Maghribi(Sunan Gribig) sebab kebanyakan orang-orang Jawa
menganggap beliau berasal dari Magribi1 yang mana disana beliau dikenal sebagai Wali
Pawang Hujan. Dikisahkan bahwa pada suatu ketika ada seorang gadis yang hendak
dijadikan tumbal untuk meminta hujan kepada dewa. Ketika pedang sudah dihunus,
Maulana Malik Ibrahim
datang dan melarangnya dengan pembicaraan yang halus, kemudian beliau memimpin
shalat Istisqa, untuk memohon hujan. Tak lama setelah itu, hujanpun turun dan
kawanan kafir tersebut berbondong-bondong memeluk agama Islam2.
Beliau juga memiliki beberapa nama, antara lain, Maulana Maghribi, Sunan Gresik, atau Syekh
Ibrahim Asamarkandi (Sebutan dalam Babad Tanah Jawi). Dikalangan para wali, Maulana
Malik merupakan tokoh yang dianggap paling senior atau wali pertama.
Dari mana asal usul beliau yang semestinya? Para ahli
sejarah masih belum ada kesatuan pendapat tentang hal ini. Ada riwayat yang
mengatakan beliau berasal dari Gujarat (India), ada yang mengatakan beliau
berasal dari Persia dan ada pula yang mengatakan beliau berasal dari tanah
Arab. Dari pendapat yang berbeda-beda itu dapat diambil kesimpulan bahwa
kemungkinan besar beliau itu berasal dari tanah Arab kemudian berhijrah ke
Gujarat (India), lalu berkelana ke Malaka dan tinggal di Perlak dan Pasai dan
selanjutnya pergi ke pulau Jawa. Beliau datang ke pulau jawa bersama
keponakannya. Sultan dari Kedah Malaka dengan tujuan bertabligh keliling. Tapi
akhirnya beliau menetap di Gresik, yang memang pada waktu itu Gresik terkenal
dengan Bandar niaga yang maju dan ramai dikunjungi orang.3
Maulana Malik Ibrahim
merupakan wali pertama yang tertua, beliau mempunyai anak bernama Raden Rahmat
(Sunan Ampel ), Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim dan sepupu
Sunan Ampel.4 Maulana Malik masih merupakan keturunan Ali Zainal
Abidin Al-Husein Ibnu Ali Ibnu Thalib.5 Hal ini
menunjukan bahwa Maulana Malik merupakan keturunan Rasulallah SAW. Diceritakan
dalam Babad Tanah Jawi, bahwa Syekh Ibrahim Asamarkandi merupakan menantu dari
dari raja Champa. Raja Champa tersebut memilki tiga anak, dua orang putri dan
satu orang putra. Putri pertama bernama ratu Darawati yang menikah dengan
Prabu Brawijaya dan putri yang kedua menikah dengan Syekh Ibrahim Asamarkandi,
Syekh itu sendiri merupakan Maulana Malik Ibrahim. Dari hasil perkawinannya ini, beliau dikaruniai dua
orang putra, yaitu Raden Rahmat dan Raden Santri. Kisah dalam babad ini sesuai
dengan yang ada dalam Hikayat Hasanudin serta Babad Majapahit dan Para Wali.
Maulana Malik Ibrahim menetap di Desa Leran, Gresik.
ketika itu Gresik masih di bawah kerajaan Majapahit. Disana beliau melakukan
dakwah dengan menjauhi Konfrontasi dengan masyarakat sekitar. Sehingga dengan
mudah agama Islam diterima. Sunan berdakwah secara sederhana, beliau membuka
warung dan menjual rupa-rupa makanan dengan harga yang murah. Selain sebagai pedagang
Sunan membuka praktek sebagai Tabib, dengan
doa-doanya yang diambil dari Al-Quran. masyarakat berbondong-bondong datang
kepadanya untuk meminta pertolongannya, apalagi praktek tabib yang dibukanya
gratis.6
Dari sini beliau memanfaatkannya sebagai sarana dakwah Islamiyah. Semakin hari
pengikutnya semakin bertambah, beliupun semakin dikenal dikalangan masyarakat Gresik.
Di Gresik beliau membuat
pesantren,yang merupakan sarana tempat menimba ilmu bersama. Dalam mengajarkan
Ilmunya, Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan julukan “Kakek Bantal”, hal ini
karena kebiasaan beliau yang selalu meletakan Al-Qur’an dan Kitab Hadist diatas
bantal ketika mengajarkan ilmunya. Meskipun pengikut beliau semakin banyak,
Maulana Malik Ibrahim masih mempunyai tekad yang kuat untuk mengislamkan raja
Majapahit, atas siasatnya ini beliau meminta bantuan raja di Cermin. Sebagian
berpendapat bahwa Cermin berada di Persia, dan pendapat lain menyebutkan berada
di Gedah, Malaysia. Raja Cermin mengirimkan putrinya Dewi Sari yang berwajah
elok ke kerajaan Majapahit, yang diharapkan sang Prabu Brawijaya mau
memperistrinya, dengan begitu diharapkan Raja Majapahit bisa memeluk agama
Islam. Namun usahanya mengalami kegagalan, karena sang raja hanya mau menerima
Dewi Seri sebagai selirnya. Raja cermin menolaknya, dan membawa kembali pasukan
bersama Dewi Seri ke kerajaan. Sebelum sampai di Cermin pasukanya
singgah di Leran Gresik, mereka menetap di rumah Sunan Gresik sambil menunggu
perbaikan kapalnya. Meskipun demikian, Sunan Gresik tak putus asa, beliau melanjutkan
dakwah dan misinya hingga menjelang wafatnya pada tahun 1419 M.
Beliau wafat di Gresik
pada hari senin tanggal 12 Rabiul awal tahun 822 H, bertetapatan dengan tanggal 8 april
1419 M dan dimakamkan
di kota Gresik dekat Surabaya Jawa Timur. Keterangan mengenai tanggal dan
tahun wafatnya berdasarkan Inskripsi pada batu nisan makamnya yang berada di
Gresik.7
2.
SUNAN
AMPEL
Sunan Ampel adalah sebutan nama dari Raden Rahmat
seorang mubaligh Islam yang berda’wah di sekitar daerah Ampel Denta dekat
Surabaya. Beliau dilahairkan kira-kira pada tahun 1401 Masehi di negeri Cempa,
putra dari Ibrahim Asmarakandi(Sunan Gresik). (Nur Amin Fattah. 1997. 29)
Beliau dari Cempa (Aceh) dating ke pulau Jawa guna
berkunjung ke tempat bibinya Dharwati yang diperistri oleh Prabu Brawijaya raja
Majapahit. Akhirnya beliau kawin dengan putri dari Aryotejo dari Tuban yang
bernama Condrowatidan mempunyai 5(lima) orang putra yaitu : Siti Syareat; Siti
Muthmainnah; Siti Hafsah; Raden Ibrahim ; Raden Qosim. Beliau juga menikah
dengan Dewi Karimah putrinya Ki Bang Kuning dan mempunyai 2(dua) orang putra :
Dewi Murtasiah; Dewi Murtasimah. (Nur
Amin Fattah. 1997. 29)
Dari beberapa putranya itu Raden Ibrahimlah yang turut
aktif berda’wah bersama ayahnya, yang akhirnya Raden Ibrahim terkenal dengan
sebutan Sunan Bonang.
Beliau dikabarkan wafat pada tahun 1478 Masehi. (Nur Amin Fattah. 1997. 29)
3.
SUNAN
BONANG
Telah disebutkan diatas bahwa Sunan Bonang adalah
putra dari Sunan Ampel dari istri yang pertama, anak yang ke empat yang bernama
Raden Ibrahim atau lebih dikenal dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. (Nur Amin Fattah. 1997. 29)
Beliau dilahirkan pada tahun 1465 M, dari ibu
Condrowati yang lebih dikenal dengan Nyi Ageng Manila putri dari seorang
Tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. (Nur Amin Fattah. 1997. 29)
Sunan Bonang selain sebagai putra dari Sunan Ampel,
beliau juga sebagai muridnya yang paling aktif menjalankan tugas da’wah di
daerah Tuban(Jawa Timur). Beliau wafat pada tahun 1525 Masehi. (Nur Amin Fattah. 1997. 30)
4.
SUNAN
GIRI
Sunan Giri adalah gelar yang disandang oleh Raden Paku
seorang mubalig ternama di daerah Giri Jawa Timur pada zaman dahulu. Beliau
juga dikenal dengan nama Prabu Satmata atau Sultan Abdul Faqih. Beliau adalah
putra dari Maulana Ishak dari Blambang (Jawa Timur). Maulana Ishak sebetulnya
adalah murid dari pada Sunan Ampel yang ditugaskan menyebarkan agama Islam di
Blambangan. Pada masa remajanya sunan Giri berguru pada Raden Rahmat (Sunan Ampel)
dan beliau menjadi murid bersma-sama dengan putranya Sunan Ampel yang bernama
Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). (Nur
Amin Fattah. 1997. 30)
Akhirnya Raden Paku(Sunan Giri) bersama Maulana Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang) dikirim ayahnya untuk menuntut ilmu ke Pasai (Aceh).
Setelah selesai menuntut ilmu di sana merekapun kembali ke tanah Jawa guna
mengembangkan ilmunya. Dari sana Raden Paku mendapatkan gelar nama “Ainul
Yaqin” berkat kecerdasan dan kepandaiannya. (Nur Amin Fattah. 1997. 30)
Adapun tahun lahir dan tahun wafat beliau, para ahli
sejarah belum ada yang menemukannya. Yang jelas beliau wafat dan dimakamkan di
atas bkit Giri(Gresik), maka dengan itulah beliau terkenal dengan panggilan
Sunan Giri. (Nur Amin Fattah. 1997. 30)
5.
SUNAN
DRAJAT
Nama asli Sunan Drajat adalah Syariffudin, beliau juga
dikenal dengan nama “Raden Qosim”. (Nur
Amin Fattah. 1997. 30)
Sunan Drajat adalah putra dari Sunan Ampel yang kelima
dari ibu Condrowati (Nyai Ageng Manila), dan adik dari Sunan Bonang (Raden
Ibrahim). Berkat hasil didikan dari ayahnya Islam ternama yang aktif berda’wah
di daerah Sedayu Jawa Timur. Beliau beristri dengan Dewi Sofiah dan dikaruniai
3(tiga) orang putra yaitu : Pangeran Trenggono; Pangeran Sandi; Dewi Wuyang.
Putra pertama Sunan Drajat yaitu Pangeran Trenggono akhirnya menjadi Sultan
Demak yang sangat terkenal. (Nur Amin
Fattah. 1997. 31)
6.
SUNAN
KALIJAGA
Sunan Kalijaga adalah gelar yang diberikan kepada
Raden Syahid putra dari Ki Tumenggung Wilatikta bupati Tuban. Ada sebagian
sebagian ahli sejarah yang menafsirkan bahwa nama Kalijaga itu berasal dari :
“kata-kata ‘Kali’ yang berarti air yang mengalir, dan kata ‘Jaga’ yang berarti
menjaga. Jadi berarti orang yang menjaga semua aliran kepercayaan yang hidup di
dalam masyarakat”. (Nur Amin Fattah.
1997. 31)
Sewaktu hidupnya beliau rajin berda’wah keliling dan
terkenal sebagai seorang wali yang ahli dalam bidang da’wah dan pemerintahan,
dengan bukti turut mendirikan Kerajaan Islam Demak dengan Raden Patah yang
dinobatkan sebagai rajanya, yang terkenal dalam sejarah hingga saat ini. (Nur Amin Fattah. 1997. 32)
Raden Syahid kawin dengan Dewi Sarah binti Maulana
Ishak dan dikaruniai 3(tiga) orang putra yaitu : Raden Umar Said(Sunan Muria);
Dewi Rukoyah; Dewi Sofiah. (Nur Amin
Fattah. 1997. 32)
Adapun daerah pusat dari kegiatan da’wahnya adalah
daerah pantai utara Jawa Tengah yaitu Glagah wangi Demak. (Nur Amin Fattah. 1997. 32)
7.
SUNAN
KUDUS
Nama asli dari Sunan Kudus ialah Ja’far Shodiq. Beliau
adalah putra dari Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngundung
di Jipang Panolan (sebelah utara kota Blora). (Nur Amin Fattah. 1997. 32)
Beliau berda’wah di daerah Jawa Tengah bagian utara
yaitu di sekitar daerah Kudus, dengan bukti peninggalan sebuah mesjid dan
menara yang pernah beliau dirikan semasa hidupnya. Adapun menara Kudus itu
didirikan sekitar tahun 956 H, yang bertepatan dengan tahun 1549 Masehi di kota
Kudus. (Nur Amin Fattah. 1997. 32)
Ahli sejarah mengatakan bahwa beliau terkenal sebagai
: “Senopati” kerajaan Demak, ahli agama terutama dalam vak ilmu tauhid, usul
hadits, sastra mantiq, lebih-lebih Fiqih, oleh sebab itu beliau digelari dengan
sebutan waliyul ilmi. (Nur Amin Fattah.
1997. 32)
8.
SUNAN
MURIA
Raden Umar Said atau Raden Said adalah nama asli dari
Sunan Muria. Diberi julukan Sunan Muria. Diberikan julukan Sunan Muria karena
beliau wafat dan dimakamkan di atas bukit gunung Muria. Perlu diketahui bahwa
panggilan atau gelar sunan pada para wali itu diberikan orang semasa mereka
hidup. (Nur Amin Fattah. 1997. 32)
Namun nama Muria itu diberikan orang setelah beliau
wafat. Maka tidak heranlah kalau Raden Said yang dimakamkan di atas bukit Muria
itu diberi gelar Sunan Muria. Beliau di waktu kecilnya bernama Raden Prawoto
anak dari raden Syahid (Sunan Kalijaga) Demak. Beliau menjalankan da’wahnya di
desa-desa yang jauh dari keramaian yaitu di daerah-daerah lereng gunung Muria
yang terletak kira-kira 18 Km di sebelah utara kota Kudus. Beliau kawin dengan
Dewi Soejinah putri Sunan Ngudung yang bernama Raden Usman Haji, jadi Sunan
Muria adalah ipar dari Sunan Kudus (Ja’far Sodiq). Dari perkawinannya itu
beliau mempunyai seorang putra yang bernama Pangeran Santri yang kemudian
mendapat julukan Sunan Ngadilangu. (Nur
Amin Fattah. 1997. 33)
9.
SUNAN
GUNUNG JATI
Fatahillah atau Syarif Hidayatullah atau Falatehan
juga dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Beliau dilahirkan di Pasai
sebelah utara daerah Aceh. Ada yang mengatakan beliau berasal serta berdarah
keturunan dari Persia. (Nur Amin Fattah.
1997. 33)
Sunan Gunung Jati mempunyai banyak nama antara lain
ialah : “Muhammad Nuruddin; Syeh Nurullah; Sayyid Kamil; Bulqiyyah; Syeh
Madzkurullah; Makdum Jati”. Kesemuanya itu adalah nama lain dari Sunan Gunung
Jati, selain itu beliau mempunyai nama yang sangat panjang yaitu: “Syeh
Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil; Syarif Hidayatullah; Sayit Kamil Maulana Syeh
Makdum Rahmatullah”. (Nur Amin Fattah.
1997. 33)
Pada waktu kecilnya beliau belajar agama pada orang
tuanya di Pasai. Tatkala kota Malaka direbut dan diduduki Portugis pada tahun
1511 Masehi, termasuk juga daerah Pasai (Aceh), beliau menyingkir dari daerah
tumpah darahnya dan belajar agama di tanah suci Mekkah selama dua tahun,
Setelah beliau pulang ternyata. Portugis masih menguasai daerah Aceh, maka
dengan perasaan kesal dan benci terhadap penjajah, beliau meninggalkan Aceh dan
menuju ke tanah Jawa yaitu ke kerajaan Islam Demak, pada waktu itu yang menjadi
raja di demak adalah Sultan Trenggono. Sultan Trenggono. Sultan Trenggono
menyambutnya dengan rasa gembira dan lama-kelamaan beliau dikawinkan dengan
adiknya Sultan Trenggono. (Nur Amin
Fattah. 1997. 33-34)
Perlu diketahui bahwa Sultan Trenggono memerintah
kerajaan Demak pada tahun 1521-1546 M. untuk memperluas daerahnya beliau
mengirimkan Falatehan (Sunan Gunung Jati) ke daerah kekuasaan Hindu di Jawa
Barat (Banten), berkat kecerdasan dan ketangkasan Falatehan memimpin
pasukannya, akhirnya Banten dapat dikuasainya. Pada waktu itu Banten ada pada
kekuasaan kerajaan Pajajaran. Setelah Banten dikuasainya maka Sunda Kelapa
dapat ditaklukkan. Ketika Portugis datang ke Sunda kelapa diusirlah Portugis
dan dapat dipukul mundur pada tahun 1527 Masehi. Setahun kemudian Cirebon jatuh
pula ke tangan Falatehan (1582), sehingga Banten, Sunda kelapa dan Cirebon
berada di bawah kekuasaanya. Dengan demikian beliau dapat menghubungkan jalan
perhubungan di Pantai Utara, Jawa Barat; Banten. Sunda kelapa dan Cirebon
dengan Demak, Kudus, Jepara, Tuban dan Gresik (Jawa Timur), yang pada akhirnya
semua itu menjadi daerah kekuasaan Islam, dengan demikian Islam dapat tersebar
di seluruh pantai utara pulau Jawa. Semenjak itu Sunan Gunung Jati tidak
menetap di Demak lagi, melainkan bertempat tinggal di Cirebon sampai beliau
wafat. Ketika Raden Trenggono (Sultan Demak) yang juga kakak iparnya itu wafat
beliau menyatakan memisahkan diri dari kekuasaannya (Jawa Barat) sampai beliau
wafat pada tahun 1570 Masehi dan dikebumikan Gunng Jati Cirebon, yang akhirnya
terkenal denga sebutan Sunan Gunung
Jati. (Nur Amin Fattah. 1997. 34)
B. METODE
DAKWAH WALI SONGO
1.
MENDIRIKAN
MASJID
Para Wali Songo dalam memulai tugas da’wah selalu
diawali dengan mendirikan masjid sebagai tempat pemusatan ibadah dan sebagai
tempat berpijak dari segala bentuk kegiatan da’wah yang dilakukannya. Dengan
demikian sangat memungkinkan untuk mengundang dan mengumpulkan masyarakat
banyak untuk dididik dengan ajaran Islam. (Nur
Amin Fattah. 1997. 40)
Dalam rangka untuk tidak mengundang rasa asing bagi
masyarakat yang telah terpengaruh dengan ajaran Hindu-Budha. Maka para wali
dalam membuat masjid agak disesuaikan dengan bentuk-bentuk bangunan candi-candi
Budha. Selain itu di setiap bangunan masjid yang dibikinnya disediakan sebuah
alun-alun yang terletak di depan masjid, hal ini meneyerupai sebuah keraton.
Kesemuannya itu dapat kita saksikan pada bangunan masjid Wali di Demak, Kudus,
Tuban, Gresik, Cirebon, dan lain-lainnya. (Nur
Amin Fattah. 1997. 40)
Sebagai salah satu bukti bahwa masjid merupakan bagian
dari metode da’wah wali songo, dapatlah dilihat dari bentuk bangunannya yang mengandung
pelambang (simbul) yang berarti bagi masyarakat Jawa dalam kehidupannya,
lambang-lambang dari bagian masjid itu antara lain : setiap masjid yang
dibangun itu selalu dilengkapi dengan gapuro yang mirip dengan dengan pntu
gerbang dari keraton. Nama dari gapuro itu berasal dari bahasa Arab “Ghafura”
yang diucapkan dengan lidah jawa gapuro yang mempunyai arti “ampunan”,
melambangkan bahwa siapa yang mau melewati gapuro itu akan diampuni segala
dosanya. Dengan ini dimaksudkan dapat menarik orang-ornag untuk masuk ke dalam
agama Islam. (Nur Amin Fattah. 1997.
40-41)
Kalau kita perhatikan para wali songo dalam mendirikan
masjid yang disrtikan dengan pelambang-pelambang adalah merupakan salah satu
metode yang patut dihargai, sebab pada masa itu masyarakat Jawa sangat menyukai
akan pelambang-pelambang, bahkan sampai saat sekarang pun masih demikian
adanya. (Nur Amin Fattah. 1997. 45)
Bukti peninggalan dari para wali songo yang masih
dapat kita saksikan hingga saat sekarang ini ialah bangunan masjidnya, sebab para
wali itu hampir seluruhnya mempunyai masjid sebgai tempat nertitik tolak dari
kegiatan da’wahnya. (Nur Amin Fattah.
1997. 45)
Masjid-masjid itu antara lain : Masjid Maulana Malik
Ibrahim di Leran, Masjid Sunan Ampel di Ampel denta, Masjid Sunan Bonang di
Tuban, Masjid Sunan Giri di Kabupaten Gresik, Masjid Sunan Kalijaga di
Kadilangu Demak, Masjid Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Masjid Agung Demak
yang didirikan oleh para wali songo, Masjid Sunan Muria di atas bukit gunung
Muria kabupaten Kudus, Masjid Sunan Kudus (Jafar Shodiq) di Kudus kulon. (Nur Amin Fattah. 1997. 45-46)
Selain itu Wali Songo dalam melakukan da’wahnya selalu
mengadakan komunikasi anatara sesamanya, bermusyawarah, terutama dalam
menghadapi berbagai macam persoalan yang muncul. Sebagaimana mereka menghadapi
ajaran dari Syeh Siri Jenar yang mengajarkan tentang faham Wihdatul Wujud atau
dengan istilah jawa “Manunggaling kawula gusti”, bersatunya diri dengan Tuhan.
Faham ini dianggap sangat membahayakan dan bahkan dapat merusak aqidah Islam.
Akhirnya para wali itu memutuskan untuk menhkum mati bagi Syeh Siti Jenar. (Nur Amin Fattah. 1997. 41)
2.
DA’WAH
DENGAN KESENIAN
a. Wayang
Kulit
Sebelum Islam datang dan berkembang di pulau Jawa,
masyarakat Jawa telah lama menggemari akan kesenian, baik seni pertunjukkan
wayang dengan gamelannya maupun seni tarik menarik suara. Maka oleh karena itu
wali songo mengambil siasat menjadikan kesenian itu sebagai alat da’wahnya,
guna memasukkan ajaran Islam kepada masyarakat lewat apa yang selama ini
menjadi kegemarannya. (Nur Amin Fattah.
1997. 46)
Cara ini adalah merupakan sebagain cara yang bijaksana
dalam pendekatan dan menarik simpati rakyat serta memperkenalkan ajaran Islam
kepadanya. (Nur Amin Fattah. 1997. 46)
Pertunjukan wayang telah ada semenjak zaman Prabu
Jayaboyo raja dari kerajaan Kediri yang memerintah pada tahun 1135-1157, bahkan
dialah yang pertama kali menciptakannya. Namun wayang yang ada pada masa itu
adalah wayang purwo yang terbuat dari lembaran kertas lembar, yang kemudian
terkenal dengan wayang beber. (Nur Amin
Fattah. 1997. 46)
Sebelum para wali mengambil wayang sebagai alat
da’wahnya terlebih dahulu mereka bermusyawarah tentang hukum dari gambar wayang
yang mirip dengan gambar manusia itu, aliran Giri yang dipelopori oleh Sunan
Giri berpendapat bahwa wayang itu hukumnya haram sebab menyerupai bentuk
manusia, sedangkan menggambar manusia menurutnya adalah haram. Sunan Kalijaga
mengusulkan agar tidak menjadi haram, gambar wayang yang ada itu diubah
bentuknya, umpamanya tangannya lebih panjang dari kakinya, hidungnya
panjang-panjang, kepalanya agak menyerupai kepala binatang dan lain-lain agar
tidak serupa persis dengan manusia, kalau sudah tidak serupa tentu saja
hukumnya tidak haram lagi. Akhirnya usul itu disetujui oleh para wali. Setelah
itu dimulailah pengubahan wayang yang dipelopori oleh Sunan Kalijaga sendiri,
peristiwa itu terjadi kira-kira pada tahun 1443 M, dan sekaligus para wali itu
menciptakan gamelannya. Untuk memainkan wayang dan gamelannya itu para walipun
mengarang cerita yang bernafaskan nilai keislaman. Adapun pelaku cerita dalam
pewayangan yang terkenal hingga saat ini adalah cerita tentang punokawan
Pandowo, yang terdiri dari semar, petruk, gareng dan bagong. Ke empat pelaku
itu mengandung falsafah yang amat dalam, di antaranya ialah sebagai berikut :
1.
Semar,
dari bahasa Arab ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dikatakan bahwa kebenaran agama
Islam adalah kokoh, sejahtera bagaikan kokohnya yang sudah tertancap yakni
Simaaruddunya.
2.
Petruk,
dari bahasa Arab ‘Fatruk’ yang artinya tinggalkan, sama dengan kalimat fatruk
kuluman siwallahi yaitu tinggalkanlah segala apa yang selain Allah.
3.
Gareng,
dari bahasa Arab ‘naala qoriin’(nala gareng), yang artinya memperoleh banyak
kawan, yaitu sebagai tujuan para wali adalah berda’wah untuk memperoleh banyak
kawan.
4.
Bagong,
dari bahasa Arab ‘bagha’ yang artinya lacut atau berontak, yaitu memberontak
terhadap segala sesuatu yang dhalim. (Nur
Amin Fattah. 1997. 47-48)
Adapula yang mengatakan bahwa :
Semar
pada hakekatnya adalah lambang nafsu mutmainah.
Gareng
lambing dari nafsu amarah.
Petruk
lambing dari nafsu lauwamah.
Bagong lambing dari nafsu sufiyah.
Togok asal kata Thogut, artinya Iblis.
Pertunjukkan wayang itu dimainkan oleh seorang dalang,
nama dalang ini juga diambil dari bahasa Arab “Dalla” yang artinya petunjuk
maksudnya orang yang menunjukkan ke jalan yang benar. (Nur Amin Fattah. 1997. 48)
Selain cerita pelaku pewayangan tersebut di atas masih
banyak lagicerita wayang yang diciptakan oleh para wali songo sendiri artinya
cerita itu tidak diambil dari kitab Mahabarata dan kitab Ramayana versi India.
Yaitu antara lain cerita dewa ruci, jimat Kalimasada (kalimat Syahadat), Petruk
jadi raja, Pandu Pragolo, Mustaka weni dll. (Nur Amin Fattah. 1997. 48)
Dalam cerita Dewa Ruci digambarkan tentang sang Bima
menemukan tentang arti kehidupan yang sebenarnya, Bima disuruh oleh gurunya
yang bernama Pandito Durno mencari air suci yang adanya hanya di dasar laut,
dasar samudra yang gelombangnya besar dan menggelegak, dengan tekadnya yang
kuat sang Bima berhasil sampai ke bawah lautan dan di sana diceritakan dia
menemui Dewa ruci. Dewa Ruci itu adalah nabi Hidir. (Nur Amin Fattah. 1997. 48)
Ada lagi cerita menarik sekali yaitu cerita tentang
jimat Kalimosodo (kalimat syahadat), dalam cerita itu digambarkan barang siapa
yang dapat memiliki jimat Kalimosodo pasti akan selamat selama-lamanya. Sebab
dia telah masuk ke dalam agama Islam. Dalam cerita itu yang menjadi pelaku
diantaranya ialah Prabu Darmokusumo yang dikatakan dia ini tidak wafat-wafat
karena telah memiliki jumat Kalimo Sodo. Dikatakan pula Darmokusumo itu
mempunyai empat saudara yang dalam cerita itu disebut Pandowo limo, artinya
bahwa rukun Islam itu terdiri dari lima perkara. (Nur Amin Fattah. 1997. 49)
Demikina diantara isi cerita atau dongeng yang
diciptakan para wali terutama Sunan Kalijaga yang banyak mengandung
filsafat-filsafat yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat Jawa yang dapat
menterjemahkan arti dan maksudnya. (Nur
Amin Fattah. 1997. 49)
Awal mula langkah da’wah menggunakan kesenian wayang
dilakukan di serambil mesjid Agung Demak dalam rangka memperingati maulud nabi
Muhammad SAW. (Nur Amin Fattah. 1997. 49)
Pertama-tama ditabuhlah gamelan gong bertalu-talu yang
suaranya kedengaran di mana-mana. Sudah menjadi adat kebiasaan masyarakat Jawa
pada masa itu apabila mereka mendengar sesuatu bunyi-bunyian mereka saling
berdatangan, lebih-lebih suara itu enak kedengarannya. Maka tidak heranlah
banyak orang. Dan perlu diingat bahwa masjid Agung Demak yang didirikan oleh
para wali itu telah diperlengkapi dengan gapuro(pintu masuk), gapuro artinya
ampunan, jadi saiap-siapa yang mau masuk lewat gapuro dosanya akan terampuni
sebab dia telah masuk Islam. Selain itu pula di depan masjid sebelah kiri ada
sebuah kolam tempat mengambil air wudhu. Tiap-tiap pintu gapuro telah dijaga
oleh para wali, sebelum orang-orang memasuki gapuro diharuskan mengucapkan dua
kalimat syahadat sebagai karcis masuknya dan ini tentu diajarkan oleh para wali
penjaga pintu itu sendiri. Setelah membaca syahadat baru diperkenankan masuk.
Sebelum mereka masuk ke masjid mereka harus mencuci kaki terlebih dahulu di
kolam yang telah tersedia di depan masjid. Kolam itu sampai saat ini masih
dapat kita saksikan disana, namun kolam itu sekarang sudah tidak digunakan lagi
untuk mengambil air wudhu. Di tepi kolam telah ada wali yang menjaganya,
orang-orang yang akan mencuci kaki, harus menurut aturan yang dibuat oleh para
wali, maka dari itu mereka harus diajari cara-caranya, antara lain pertama-tama
muka harus dibasuh biar bersih, kemudian kedua tangan harus dicuci, lalu kepala
harus dibasahi biar adem, dekil-dekil yang ada di telinga harus dihilangkan
dengan air, yang terakhir kedua kaki harus dicuci sampai bersih, baru mereka
dipersilahkan memasuki serambi masjid untuk mendengarkan wayang dan gamelannya.
(Nur Amin Fattah. 1997. 49-50)
Di situlah mereka asyik mendengarkan cerita-cerita
gubahan para wali yang bernafaskan nilai-nilai keislaman. Setelah waktu dhuhur
tiba, mereka semua diajak berdo’a agar supaya sang dewa tidak murka, cara
berdo’anyapun diajarkan oleh wali dengan gerakkan-gerakkan yang berarti.
Kesemuanya itu secara tidak sadarmereka telah diajarkan cara berwudhu dan
bersembahyang, namun mereka tidak diberitahu bahwa yang diperbuatitu cara-cara
Islam dan mereka telah masuk Islam. (Nur
Amin Fattah. 1997. 50)
Hari demi hari suasana it uterus berlangsung sehingga
secara tidak terasa telah berduyun-duyun masyarakat Jawa telah memeluk agama
Islam. Demikianlah Islam masuk ke tanah Jawa secara damai tanpa paksaan. (Nur Amin Fattah. 1997. 50)
b. Seni
Suara
Kegemaran masyarakat Jawa akan seni suara atau seni
tarik menarik suara, nampaknya mendapatkan perhatian yang serius dari para
wali, oleh karena itu merekapun tidak ketinggalan pula untuk menciptakan
lagu-lagu yang indah, yang penuh dengan arti dan filsafah kehidupan. Di antara
lagu atau tembang ciptaan para wali itu ialah Lagu Lir Ilir ciptaan Sunan
Kalijaga, lagu Asmaradana dan pucung ciptaan Sunan Giri, lagu Durma ciptaan
Sunan Bonang, lagu Maskumambang dan Mijil ciptaan Sunan Kudus, lagu Sinom dan
Kinanti ciptaan Sunan Muria, lagu Pangkur ciptaan Sunan Drajat. (Nur Amin Fattah. 1997. 51)
Lagu-lagu yang diciptakan para wali mengandung arti
ataupun makna mengajak, menyeru kepada kebaikan serta teguran atau peringatan.
c. Seni
Ukir
Dalam rangka
menarik simpati masyarakat, para wali juga turut serta mewarnai seni ukir yang
selama ini telah ada dan berkembang di masyarakat, namun seni ukir yang ada itu
bercorak atau berbentuk gambar-gambar manusia dan binatang, oleh para wali seni
ukir itu dikembangkan menjadi seni ukir yang berbentuk dedaunan, peti-peti
klasik, alat-alat menggantungkan gamelan dll. Bentuk-bentuk ukiran rumah adat
di Kudus, Demak dam Gresik yang hingga sampai saat ini satu dua masih dapat
kita temui dan saksikan adalah peninggalan-peninggalan di jaman wali. (Nur Amin Fattah. 1997. 58)
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas,
dapat kita simpulkan bahwa kata
“Wali” berasal dari bahasa Arab. Jamaknya Auliya’ yang berarti orang-orang yang
tercinta, para penolong, para pembantu dan juga berarti para pemimpin. Dan
“Sunan” merupakan sebutan atau panggilan untuk Wali Songo, kata sunan itu
berasal dari kata sesuhunan artinya orang yang diminta yang
mana Sunan itu adalah suatu nama atau gelar yang diberikan oleh orang lain
ketika para wali itu masih hidup, bukan setelah mati. Perlu
kita ingat juga bahwa sesungguhnya gelar Sunan itu adalah bukan suatu gelar
jabatan, sebagaimana sultan atau raja dan ratu, namun itu merupakan gelar
penghormatan.
Walisongo banyak
berperan dalam proses Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Gerakan
dakwah yang kultural serta sikapnya yang mampu membaur dengan masyarakat dan
mengakulturasikan antara budaya pribumi dengan ajaran dan Syariat Islam membuat
kiprah dakwah mereka berhasil. Metode dakwah Walisongo secara umum bersifat
kultural dipandang sangat cocok dengan kondisi masyarakat saat itu. Sebagian
besar masyarakat pribumi saat itu masih menganut ajaran Hindu-Budha yang juga
sebagai ajaran resmi dianut Kerajaan Majapahit.
Selain berdakawah,
Walisongo banyak meninggalkan jejak-jejak sejarah, khususnya sejarah
perkembangan Islam yang berupa peninggalan-peninggalan Walisongo. Dan diantara
peninggalan-peninggalan tersebut yang paling nyata adalah Mesjid Agung Demak.
Masjid lain yang juga meruapakan
peninggalan Walisongo adalah Mesjid Menara Kudus, Mesjid Rahmat, Mesjid Sunan
Ampel. Kesenian merupakan hal yang paling banyak dikenal, Wali songo menggunakan kesenian
sebagai media dakwah Islam. Diantara kesenian yang merupakan hasil karya para
wali adalah Tembang-tembang pupuh, Syair-syair, Musik Gamelan, Wayang dan lain-lain.
GAMBAR
SUNAN GRESIK SUNAN GIRI SUNAN GUNUNG
JATI
SUNAN KUDUS SUNAN
BONANG SUNAN DRAJAT
SUNAN KALIJAGA SUNAN
AMPEL SUNAN MURIA
SEMAR; GARENG; PETRUK; BAGONG
MAKAM SUNAN GRESIK
DAFTAR PUSTAKA
Soekmono, R. 2001. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. -----: ----
Amin Fattah Nur.
1997. Metode Da’wah Walisongo.
Pekalongan: C. V. Bahagia
Marwati Djoened Poesponegoro & Notosusanto,
Nugroho. 2010. Sejarah Nasional Indonesia
III. Jakarta: Balai Pustaka
ReplyDeleteWalisongo Adalah Utusan Khalifah Utsmaniyah
https://bogotabb.blogspot.co.id/
Sri Sultan HB X Ungkap Hubungan Khilafah Utsmaniyah dengan Tanah Jawa :
https://www.youtube.com/watch?v=L4jwAjgYqVw