Kedatangan Sekutu di Palembang
Palembang merupakan kota yang sangat strategis di
Sumatera Selatan. Sebagai kota tua, Palembang banyak menyimpan sejarah
perjuangan rakyat. Keberadaan Palembang yang dibagi oleh Sungai Musi menambah
eksotismenya. Ciri khas kota Palembang sebagai kota yang sangat didominasi oleh
air, bahkan oleh Belanda sebelum Perang Dunia II, pernah dipromosikan sebagai “Venetie
van het Verre Oasten” atau “Venesia dari Timur Jauh”. Kekayaan alam Sumatera
Selatan menjadi kebanggaan sekaligus ancaman dari bangsa asing.
Pada tanggal 12 oktober 1945,
dibawah pimpinan Let Kol Carmichel, melalui Sungai Musi, mendaratlah tentara sekutu
di kota Palembang dengan alasan akan mengurus tawanan-tawanan perang sekutu dan
melucuti senjata Jepang. Kedatangan sekutu lengkap dengan badan-badan
pemerintahannya, seperti AMACAB ( Allied Military Administration Civil Affair
Brench), AMA (Allied Military Administration) dan diboncengi NICA ( Netherlands
Indies Civil Administration). NICA ini direncanakan dan diharapkan akan
mengurus usaha penjajahan kembali Indonesia oleh pihak Belanda.(Alamsyah Ratu
Perwiranegara, 1987:37)
Masuknya NICA dalam rombongan
tersebut tidak dicurigai oleh pihak RI, karena sebelumnya dr. AK. Gani sudah
menerima sebuah kawat (telegram) dari Komite Nasional Indonesia di Sumatera,
dari Adi Negoro pada tanggal 5 oktober 1945, Isi telegram itu menerangkan bahwa
sekutu mengakui Republik Indonesia secara de facto, segala jabatan di Jawa
telah berada di dalam tangan bangsa Indonesia, dan berjanji tidak akan memberi
kesempatan kepada pihak Belanda untuk mendatangkan tentaranya ke Indonesia,
sebab jika terjadi dapat menyebabkan terjadinya peperangan antara Indonesia
dengan Belanda.
Berdasarkan telegram tersebut, dr.
AK. Gani memberi izin kepada tentara
sekutu (Inggris) untuk menempati daerah di Talang Semut sebagai tempat mereka
tinggal. Disinilah tawanan-tawanan perang pihak sekutu di kumpulkan yang
kebanyakan terdiri dari bangsa Belanda. Untuk memperlancar tugas-tugasnya,
telah disetujui pula oleh kedua belah pihak (RI dan Sekutu), bahwa tentara
sekutu dibenarkan melalui jalan-jalan dalam batas-batas tertentu ( Corridor )
di kota Palembang, yaitu: jalan antara kamp Talang Semut dengan lapangan udara
Talang Betutu, dan jalan antara Kamp Talang Semut dengan pelabuhan Boom Yetty.
Walaupun pihak sekutu menjanjikan
tidak akan membawa tentara Belanda, tetapi kenyataannya tentara Belanda semakin
banyak diseludupkan didaerah ini dalam rombongan kedua yang datang pada tanggal
13 maret 1946, jumlah tentara sekutu yang ada di Palembang menjadi 2 batalion
dipimpin oleh Brigadir Jenderal Hustchinson.
Selain itu tentara sekutu semakin
meluaskan areal kekuasaannya dan mereka bukan hanya tinggal di tempat-tempat
yang telah di sepakati sebelumnya, tetapi menempati pula bekas markas-markas
pertahanan tentara Jepang, misalnya: di Boom Baru, gedung Bersumij dan kompleks
IPM di sungai Rendang, Benteng, Rumah Sakit Charitas yang terletak di jalan
Jenderal Sudirman, Lapangan Terbang Talang Betutu, Sungai Gerong, Plaju (Bagus
Sekuning), Javasce Bank, Rumah Sultan, Internatio, Jacobson V.d. Berg dan BPN
Handetzaken ( Alamsyah Ratu Perwiranegara,1987:36).
Jadi jelaslah bahwa tentara sekutu
disamping menjalankan tugas pokoknya, juga mempunyai maksud-maksud lain yaitu
ingin mengembalikan kekuasaan Belanda seperti sebelum meletusnya Perang
Pasifik. Mereka bukan saja melucuti dan mengurusi senjata yang dimiliki Jepang,
tetapi juga mengambil alih markas-markas bekas pertahanan Jepang. Mereka
melakukan penggeledahan terhadap rumah-rumah penduduk dengan alasan untuk
mencari senjata-senjata api.
Tindakan sekutu semakin brutal dan
sering kali penduduk sipil diinterogasi yang disertai penyiksaan-penyiksaan.
Tindakan mereka itu membuat penduduk marah, sehingga menimbulkan
insiden-insiden. Akibatnya insiden-insiden kecil makin sering terjadi diikuti
kontak senjata antara para pejuang Kemerdekaan Indonesia dengan pihak tentara
Sekutu (Inggris).
Tindakan sekutu yang tidak
menyenangkan itu menimbulkan kecurigaan para pejuang. Terlebih lagi setelah
diketahui di dalamnya terdapat tentara Belanda dan NICA-nya. Tentara sekutu
ternya mengatur taktik dan strategisnya dalam membantu Belanda untuk menegakan
kembali kekuasaannya (Dinas Sejarah Kodam II Bukit Barisan, 1984:269-271).
Kecurigaan dan kecemasan rakyat
Palembang bertambah ketika tentara Sekutu-Inggris memberi kesempatan kepada
Belanda untuk menyusun kekuataanya. Hal ini menimbulkan rasa benci rakyat
kepada sekutu. Keadaan ini membuat situasi di daerah semakin menjadi panas
ditambah dengan keluarnya perintah bersama dari Panglima Tentara Sekutu-Jepang
bulan November 1945. Perintah tersebut berisi agar pasukan-pasukan tentara Jepang
yang berjumlah lebih kurang 25.000 orang di Palembang mempertahankan kekuasaan
sipil dan militer yang untuk kemudian diserahkan sepenuhnya kepada Belanda.
(Ma’moen Abdullah,1986-287).
Tindakan sekutu ini menyebabkan
badan-badan perjuangan yang ada di Palembang, seperti BPRI ( Barisan Pelopor
Republik Indonesia ), mulai membangkitkan semangat rakyat guna melakukan
perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apapun. Semangat
rakyat Palembang ini menimbulkan reaksi dari sekutu untuk melancarkan
provokasi-provokasi, memancing bentrokan dengan rakyat, sehingga menimbulkan
insiden-insiden kecil yang kemudian menjadi pertempuran sengit.
Setiap insiden selalu dimulai oleh
tindakan tentara Sekutu-NICA, yang memancing kemarahan rakyat dan BPRI. Demikian
pula insiden pada tanggal 29 maret 1946, yang berkembang menjadi pertempuran
antar pejuang dikota Palembang melawan tentara Sekutu-NICA. Saat itu
segerombolan tentara inggris keluar dari corridor menuju 9 Ilir, bagian Timur
dari kota Palembang, mendobrak penjagaan Polisi Tentara (PT), disertai dengan
melepaskan tembakan-tembakan, sehingga terjadilah tembak menembak antara TRI
dengan pasukan Inggris (Sekutu) maupun Belanda. Tembak menembak ini akhirnya
meluas menjadi pertempuran selama Lima Hari Lima Malam (Kempen RI Sumsel
1946:29-31, dalam Ma’moen Abdullah, 1986:288).
Dalam pertempuran itu, pihak sekutu
juga melakukan penembakan terhadap masjid Agung Palembang, bahkan Masjid Agung
kemudian dijadikan tempat bertahannya pasukan Sekutu. Tindakan ini menimbulkan kemarahan
seluruh umat Islam khususnya di kota Palembang, bahkan masyarakat Sumatera
Bagian Selatan pada umumnya, rakyat di Palembang mengajuka protes keras kepada
sekutu. pertempuran baru dapat dihentikan setelah diadakan perundingan antara
Brigadir Jenderal Hutcinson dengan para pemimpin kota Palembang yang diketuai
oleh Residen Palembang dr. AK. Gani dan komandan TRI Kolonel Hasan Kasim.
Selanjutnya insiden-insiden kecil
terus terjadi susul menyusul, sehingga situasi di kota Palembang sangat tegang
dan menggelisahkan, laksana api dalam sekam. Tentara dan lasykar-lasykar rakyat
selalu dalam keadaan siaga dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan
terjadi. Sementara tentara Inggris terus memberi peluang yang semakin banyak
kepada Belanda untuk memperkuat kedudukannya.
Usaha
untuk mencapai kepentingan Belanda berlanjut dengan pertempuran besar.
Pertempuran besar yang menentukan antara lain Bandung Lautan Api, Pertempuran
Ambarawa, Medan Area, Puputan Margarana dan lain-lain. Di Sumatera Selatan pun
terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran Lima Hari Lima Malam
di Palembang. pertempuran ini terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.
Comments
Post a Comment