POLA KEHIDUPAN MANUSIA PURBA
Artefak litik itulah yang
kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koenigswald,
Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan dengan penemuan-penemuan fosil
Homo erectus secara sporadis dan berkesinambungan. Homo erectus adalah
takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada tahapan manusia
Homo sapiens, manusia modern. Situs Sangiran tidak hanya memberikan
gambaran tentang evolusi fisik manusia saja, akan tetapi juga memberikan
gambaran nyata tentang evolusi budaya, binatang, dan juga lingkungan. Beberapa
fosil yang ditemukan dalam seri geologis-stratigrafis yang diendapkan tanpa
terputus selama lebih dari dua juta tahun, menunjukan tentang hal itu. Situs
Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia. Situs
itu ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996, yang tercantum
dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.Perkembangan Sejarah manusia
di dunia tidak bisa dilepaskan dari nama Situs Sangiran suatu daerah
diperbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Di dalam buku Harry
Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia, diterangkan bahwa Sangiran merupakan
sebuah kompleks situs manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap
dan paling penting di Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan
pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk tentang keberadaan
manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu mempunyai luas
delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat.
Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat
kubah akibat adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai
dengan perbukitan yang bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan
tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil manusia purba
dan binatang, termasuk artefak. Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran
berupa endapan lempung hitam dan pasir fluviovolkanik, tanahnya tidak subur dan
terkesan gersang pada musim kemarau. Sangiran pertama kali ditemukan oleh
P.E.C. Schemulling tahun 1864, dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari
Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs
itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga pernah
datang ke Sangiran, akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di
wilayah Sangiran. Pada 1934, G.H.R von Koenigswald menemukan artefak litik di
wilayah Ngebung yang terletak sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran.
SITUS SANGIRAN
2. Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Trinil adalah sebuah desa di
pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah
administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lebih dulu
ditemukan di daerah ini jauh sebelum von Koenigswald menemukan Sangiran pada
1934. Penggalian Dubois dilakukan pada
endapan alluvial Bengawan Solo. Ia Menemukan atap tengkorak Pithecanthropus
erectus, dan beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan
pemiliknya telah berjalan tegak. Tengkorak Pithecanthropus erectus dari
Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900
cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc).
Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata, terdapat penyempitan
yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian belakang
kepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga perempuan. Tempat di atas,
peninggalan manusia purba jenis ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa
Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; Sambung macan, Sragen, Jawa Tengah.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah
direkonstruksi beberapa jenis manusia purba yang pernah hidup di zaman
praaksara.
SITUS TRINIL, NGAWI JAWA TIMUR
1. Jenis Meganthropus
Jenis manusia purba ini
terutama berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941
yang menemukan fosil rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil
rekonstruksi ini kemudian para ahli menamakan jenis manusia ini dengan sebutan Meganthropus
paleojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa. Jenis manusia purba ini
memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya tegap. Diperkirakan makanan jenis
manusia ini adalah tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya diperkirakan pada zaman
Pleistosen Awal.
2. Jenis Pithecanthropus
Jenis manusia ini didasarkan
pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di dekat Trinil, sebuah desa di
pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk
kerangka manusia, tetapi masih terlihat tanda-tanda kera. Oleh karena itu jenis
ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya manusia kera yang
berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus
mojokertensis. Jenis manusia purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo
erectus ini paling banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis
manusia purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
3. Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama
diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene
Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis
manusia Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol, Bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan
manusia sekarang. Hidup dan perkembangan jenis manusia ini sekitar 40.000 –
25.000 tahun yang lalu. Penyebarannya tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Filipina dan Cina
Selatan. Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik,
volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan
manusia modern. Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan
‘manusia bijak’ karena telah lebih maju dalam berfikir dan menyiasati tantangan
alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar
dengan cepat ke berbagai penjuru dunia hingga saat ini? Para ahli paleo
anthropologi dapat melukiskan perbedaan morfologis antara Homo sapiens dengan
pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar
posturnya dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya karena tulang
belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo erectus
tlng posting penemuan terbaru dari kerajaan sriwijaya dong?
ReplyDelete